Makalah - Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Atas Pemberitaan Surat Pembaca menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Undang-undang No40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa pihak yang merasa dirugikan atas
pemberitaan dari pers, dapat menggunakan hak jawabnya. Kalangan pers
mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui
prosedur hak jawab. Apabila ditinjau dari muatan Undang-undang Pers, maka
sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya
prosedur hak jawab. Berdasarkan Pasal 12 jo Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No.
40 Tahun 1999, maka pihak perusahaan pers tentunya ikut bertanggungjawab juga
terhadap penerbitan Surat Pembaca melalui media massa yang dimiliki oleh
perusahaan pers. Apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana, maka hal
ini dapat ditinjau dari Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 56 KUHP.
Adapun
pembatasan terhadap penulisan inforrmasi dan opini dalam pers dapat ditinjau
dalam Undang-undang Pers. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Pers,
masyarakat dalam memberikan opini melalui pers harus menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Berkaitan
dengan perbuatan fitnah, maka pembatasan yang dimaksud adalah penulis Surat
Pembaca harus menghormati asas praduga tak bersalah. Berarti substansi isi Surat
Pembaca tidak boleh menghakimi pihak lain untuk dinyatakan bersalah sebelum ada
putusan yang dari pengadilan.
Kasus Fifi Tanang vs Duta Pertiwi
Kasus Fifi Tanang vs Duta Pertiwi
Kasus
ini sebenarnya memasuki ranah Hukum Pers, karena Fifi Tanang didakwa melakukan
tindak pidana pencemaran nama baik melalui media massa dengan cara menulis
Surat Pembaca. Mengenai delik pers telah diatur dalam Undang-undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang Pers telah mengatur secara jelas tentang
siapa yang harus bertanggung jawab apabila terdapat suatu pemberitaan yang
dimuat oleh Pers. Prosedur keberatan bagi orang yang merasa tercemar nama
baiknya adalah sebagai berikut:
a)
Dengan menggunakan Hak
Jawab;
b)
Mengadukan Pers yang
bersangkutan ke Dewan Pers;
c)
Jika orang yang merasa
keberatan dan tercemar nama baiknya tersebut masih belum merasa puas, maka yang
bersangkutan dapat menggugat dan menuntut pertanggungjawab dalam pers itu sendiri.
Banyak
argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang No 40 Tahun 1999 merupakan Lex specialis, sehingga seluruh
kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut Undang-undang No 40 Tahun 1999. Namun,
apabila ditinjau dari muatan Undang-undang No. 40 Tahun 1999, maka sebenarnya
tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur
Hak Jawab. Batang tubuh Undang-undang
No. 40 Tahun 1999 praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang
definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani
Hak Jawab.
Pasal
63 ayat (2) KUHP menentukan:
Jika suatu perbuatan,
yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal
diatas adalah bentuk dari asas Lex
Specialis Derogat Legi Generali, yang artinya undang-undang yang bersifat
khusus menyampingkan undang-undang umum, jika pembuatnya sama.[1] Undang-undang
Pers mengatur mengenai tindak pidana pencemaran nama baik melalui pers, hanya
saja tidak secara rinci. Sehingga timbul pro kontra apakah Undang-undang Pers
adalah Lex Specialis dari KUHP.
Sampai
saat ini perdebatan apakah Undang-undang Pers dapat digunakan sebagai Lex Specialis dari KUHP dalam kasus
pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum
menemukan titik temu. Pro dan kontra Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex
Specialis mengemuka dengan argumentasi yang sama kuat. Di satu sisi,
menjadikan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis adalah
jaminan menegakkan kemerdekaan pers, namun di disi lain secara hukum formal dan
material kedudukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex
Specialis dinilai oleh sebagian pihak belum memenuhi syarat dan memiliki
banyak kelemahan.
Penulis
sependapat dengan yang kontra karena Undang-undang Pers tidak memuat ketentuan
pidana mengenai pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pers. Alasan lainnya
adalah:
a) Dalam
penjelasan umum Undang-undang Pers tidak secara tegas dikatakan bahwa Undang-undang
Pers dijadikan Lex Spesialis. Dalam
penjelasan disebutkan “untuk menghindari peraturan yang tumpang tindih,
undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya”.
b) Baik
dalam ketentuan peralihan dan ketentuan penutup maupun dalam penjalasan dari Undang-undang
Pers tersebut tidak mencabut ketentuan KUHP.
c) Undang-undang
Pers tidak menyebut soal pencemaran nama baik dan sama sekali tidak membahas
soal hukum yang sangat kompleks itu.
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Pers bukan Lex Specialis dari KUHP, baik
spesialitas logis maupun spesialitas sistematis, karena dalam Undang-undang
Pers tidak mengatur secara khusus tentang pencemaran nama baik oleh pers.
Sekalipun demikian dalam membuktikan adanya pencemaran nama baik oleh Pers,
aparat penegak hukum wajib memperhatikan Undang-undang Pers dan kode etik
jurnalistik. [2]
Pelaksanaan
mekanisme hukum pers dan kode etik jurnalistik, sangat menentukan dalam adanya
“sifat melawan hukum” dari suatu pemberitaan pers, yang dipandang melanggar
asas praduga tidak bersalah. Tidak dapat dipandang suatu pencemaran nama baik,
jika mereka yang merasa “dirugikan nama baiknya”, belum menggunakan “hak jawab”
(Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 1 angka 11 Undang-undang Pers). Hal inipun dalam hal
Pers dapat membuktikan bahwa yang diberitakan tersebut adalah suatu “fakta”.
Tidak dapat dipandang
suatu pencemaran nama baik, jika mereka yang merasa “diberitakan secara
keliru” belum menggunakan “hak koreksi”
(Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 1 angka 12 Undang-undang Pers). Hal inipun dalam hal
Pers dapat membuktikan bahwa kekeliruan pemberitaan tersebut bukan sesuatu yang
“disengaja”.[3]
Mengenai
pertanggungjawaban atas pemberitaan Surat
Pembaca sendiri dapat dilihat dari
pendapat para ahli komunikasi, yaitu Sabam
Leo Batubara dan Bambang Harymurti.
Mereka menguraikan pendapat tentang pertanggungjawaban dalam Surat Pembaca dalam
pemeriksaannya sebagai saksi ahli dalam kasus pidana pencemaran nama baik atas
nama terdakwa Khoe Seng-Seng. Sabam Leo Batubara memberikan pendapat
sebagai saksi ahli dalam perkara pidana pencemaran nama baik atas nama Khoe
Seng-Seng di Pengadilan Jakarta Timur, sebagai berikut:
Surat pembaca
adalah semua pendapat umum yang disampaikan berupa informasi dan sesuai dengan
konsep Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang bertanggungjawab
adalah redaktur surat pembaca karena surat pembaca melalui redaktur atau orang
yang diberi wewenang.
Berdasarkan
pendapat tersebut, pihak perusahaan pers yang bertanggungjawab atas pemberitaan
Surat Pembaca adalah redaktur atau pihak yang diberi wewenang terhadap Surat
Pembaca. Selain itu, pendapat ini dipertegaskan oleh Bambang Harymurti, selaku ahli pers, yaitu pemuatan surat pembaca
menurut Undang-Undang Pers adalah menjadi tanggungjawab Pemimpin Redaksi. Undang-undang
Pers tidak mengatur secara tegas terhadap pertanggungjawaban terhadap penulisan
Surat Pembaca secara khusus. Akan tetapi, Undang-undang No. 40 Tahun 1999 hanya melakukan
pengaturan tentang pertanggungjawaban atas segala informasi atau opini pada
pers. Penulis menyimpulkan bahwa Surat Pembaca merupakan jenis opini dalam
ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal
5 ayat (1) menentukan:
Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sementara Pasal 12 menentukan:
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama,
alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan;
khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Penjelasan
Pasal 12 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah
penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Tindakan fitnah yang
dilakukan oleh Fifi Tanang
melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 karena muatan
Surat Pembaca Fifi Tanang melanggar
unsur praduga tak bersalah. Berdasarkan
Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, pelanggaran terhadap Pasal 5
ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 merupakan tindak pidana. Sedangkan,
pihak yang bertanggungjawab adalah perusahaan pers.
Berarti perusahaan pers dapat
juga dikenakan Pasal 56 KUHP atas perannya dalam membantu Fifi Tanang melakukan tindak
pidana. Substansi dari Pasal 56 KUHP mengatur tentang para pihak yang membantu
kejahatan, yaitu:
Dipidana sebagai
pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan:
ke-1. mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
ke-2.
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan;
Berdasar ketentuan pasal diatas maka perbuatan
dari perusahaan pers atas peranannya menerbitkan Surat Pembaca telah memenuhi unsur
sebagai pembantu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Perusahaan
pers seharusnya ikut
dinyatakan bersalah dan dipidana, karena telah membantu Fifi Tanang untuk menyebarkan
fitnah melalui Surat Pembaca. Bantuan tersebut
berupa memperbolehkan tulisan dalam Surat
Pembaca tersebut untuk dimuat dalam media massa yang dimiliki oleh perusahaan
pers tersebut. Hal ini dikarenakan proses pemuatan Surat Pembaca masuk melalui
redaksi dari perusahaan pers. Akan tetapi, perusahaan pers tersebut tidak ikut
diperiksa dan dinyatakan bersalah di peradilan tersebut. Oleh karena itu,
perkara ini sebenarnya para pihak yang bertanggungjawab secara pidana yang diajukan ke pengadilan
kurang lengkap, karena perusahaan pers sebagai pihak yang membantu kejahatan
fitnah tersebut tidak diajukan untuk diadili di Pengadilan.
0 comments:
Post a Comment