Pengertian, jenis-jenis delik aduan, hak mengadu dan tenggang
waktu hak mengadu dan menarik kembali pengaduan.
1.
Tindak Pidana Aduan
Delik adalah
terjemahan dari kata Strafbaar feit. Menurut
Samidjo delik adalah suatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.[1]
a.
Pengertian
Tindak Pidana Aduan
Pada kejahatan terdapat
sejumlah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari
orang yang dirugikan.[2]
KUHP secara tegas tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan tindak
pidana aduan. Tindak pidana aduan sering disebut juga delik aduan. Pengertian
dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari para pakar di
bidang ilmu hukum pidana, antara lain:
1) Menurut Samidjo
Delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya. Bila
tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.[3]
2) Menurut
R. Soesilo
……dari banyak peristiwa
pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan
(permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam
ini disebut delik aduan.[4]
3) Menurut
P. A. F Lamintang
Tindak pidana yang
hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak
pidana seperti ini disebut Klacht
Delicten.[5]
Arti penuntutan menurut
Pasal 1 angka (7) KUHAP:
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Apakah yang dimaksud
dengan pengaduan (klacht)? Pengaduan
ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau dituliskan) dari
seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau
pejabat penyidik (Kepolisisan RI) tentang telah diperbuatnya suatu tindak
pidana (in casu kejahatan aduan) oleh
seseorang, dengan disertai permintaan agar dilakukan pemeriksaan untuk
selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang berwenang. [6]
Jadi ada dua unsur
esensial pengaduan yaitu:
1) Pernyataan
tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang, disertai
2) Permintaan
untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan penuntutan pidana ke
sidang pengadilan.[7]
Menurut Adami Chazawi, walaupun ada persamaan
sifat dengan laporan, karena laporan juga merupakan pernyataan mengenai telah
diperbuatnya tindak pidana, namun ada perbedaan yang mendasar dengan pengaduan.
Perbedaan itu adalah:
1) Pada
pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi) keterangan atau informasi tentang
adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan
disamping berupa informasi tentang diperbuatnya tindak pidana, juga harus
disertai permintaan yang tegas kepada pejabat penerima pengaduan agar tindak
pidana itu diusut dan kemudian dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan;
2) Pelaporan
(aangifte) dapat dilakukan oleh siapa
saja, baik korban ataupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum cukup
umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht) hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban,
kuasanya, walinya dan lain-lain);
3) Pelaporan
dapat diajukan mengenai semua tindak pidana (kejahatan maupun pelanggaran).
Sedangkan pengaduan hanya dapat dilakukan pada kejahatan-kejahatan (aduan) saja;
4) Pelaporan
tidak merupakan syarat untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana terhadap si
pembuatnya. Sebaliknya pengaduan adalah merupakan syarat esensial untuk
dapatnya Negara melakukan penuntutan pidana.[8]
Dari pendapat diatas
penuntutan delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari
korban atau dari seseorang yang berhak mengadu/apabila pengajuan suatu delik
aduan ke pengadilan tanpa dilengkapi dengan pengaduan (tertulis atau lisan yang
dicatat oleh petugas penerima aduan) harus dinyatakan sebagai tidak dapat
diterima. Alasan untuk menjadikan delik menjadi delik aduan adalah bahwa dalam
hal-hal tertentu, kepentingan seorang yang berhak mengadu akan lebih dirugikan
apabila perkara itu disidangkan, dibandingkan dengan kepentingan umum.
Sering timbul
pertanyaan apakah polisi bila melihat seorang yang melakukan sesuatu delik
aduan dapat segera bertindak, ataukah harus menunggu datangnya pengaduan dari
orang yang berkepentingan? Jika melihat bunyi undang-undang bahwa yang
digantungkan kepada pengaduan itu adalah penuntutannya dan bukan
penyelidikannya atau pengusutannya, maka polisi sebagai
pegawai penyelidik (bukan pegawai penuntut) sudah dapat bertindak sebelum
adanya pengaduan. [9]
b.
Jenis-Jenis
Delik Aduan
Kejahatan yang
merupakan delik aduan itu tidak terkumpul dalam satu Bab, akan tetapi tersebar
dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di Buku II. Menurut Adami Chazawi, kejahatan-kejahatan yang
tersebar dalam pasal-pasal Buku II, antara lain ialah:
1) Pasal
284 KUHP: kejahatan zina;
2) Pasal
287 KUHP: bersetubuh dengan perempuan luar kawin yang umurnya belum 15 tahun
atau belum waktunya untuk dikawinkan;
3) Pasal
293 KUHP: menggerakkan seseorang yang baik tingkah lakunya untuk melakukan
perbuatan cabul dengan dia;
4) Pasal
319 KUHP (jo 310-318 KUHP): segala bentuk penghinaan kecuali Pasal 316 KUHP;
5) Pasal
320 KUHP: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal;
6) Pasal
321 KUHP: menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau
gambar yang isinya menghina orang yang sudah meninggal;
7) Pasal
322 KUHP: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pencarian;
8) Pasal
323 KUHP: memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dimana dia
bekerja atau dulu bekerja yang harus dirahasiakannya;
9) Pasal
332 KUHP: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuannya yang tanpa
dikehendaki orang tuanya;
10)
Pasal 367 KUHP (jo 362, 363, 364, atau
365 KUHP): segala bentuk pencurian dalam kalangan keluarga;
11)
Pasal 369 KUHP: kejahatan mengancam;
12)
Pasal 370 KUHP (jo 368, 369 KUHP):
pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga;
13)
Pasal 376 KUHP (jo 372-375 KUHP): semua
bentuk penggelapan dalam kalangan keluarga;
14)
Pasal 394 KUHP (jo 378-393 bis KUHP):
semua bentuk penipuan (bedrog) dalm kalangan keluarga, kecuali Pasal 393 bis
ayat (2) KUHP.[10]
Menurut sifatnya Adami Chazawi membedakan delik aduan
atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik
pengaduaun absolut (absolute
klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu delik aduan
absolut atau mutlak (absolute
klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten).
1)
Delik
Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute
Klachtdelicten)
Delik aduan absolut atau mutlak adalah kejahatan yang
pada dasarnya adalah berupa kejahatan aduan, artinya untuk segala hal dan atau
kejadian diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya negara melakukan penuntutan
mengenai perkara itu.[11]
Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut
(absolute klachtdelicten) ialah,
bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan
dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan.
Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Saat dimulainya
pemeriksaan perkara di depan pengadilan, maka pengaduan tersebut tidak dapat
ditarik kembali (Pasal 284 ayat 4 KUHP). Dalam tindak pidana aduan absolut yang
dituntut adalah peristiwanya, sehingga permintaan penuntutan dalam pengaduan
harus berbunyi: “saya minta agar peristiwa ini dituntut”.[12] Semua
orang yang tersangkut dalam perkara itu harus dituntut dan tidak dapat dibelah
(spleit). Akan tetapi meskipun belum
ada pengaduan dari yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan.
Kejahatan-kejahatan
yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu
kejahatan pada Pasal-pasal: 284, 287, 293, 319 (jo 310-318), 322 serta Pasal
332 KUHP.[13]
a) Kejahatan
Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang
diatur dalam Pasal 284 KUHP tentang “zina” (overspel),
Pasal 287 KUHP tentang “perkosaan” (verkrachting),
Pasal 293 KUHP tentang “perbuatan cabul” (ontucht),
didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus
dilakukan pengaduan.
b) Kejahatan
Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 KUHP tentang “menista” (menghina),
Pasal 311 KUHP tentang “memfitnah” (laster),
Pasal 315 KUHP tentang “penghinaan sederhana” (oenvoudige belediging), Pasal 316 KUHP (penghinaan itu terhadap
seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas
secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319 KUHP, tidak diperlukan
pengaduan).
c) Kejahatan
membuka rahasia (schending van geheimen),
yang diatur dalam Pasal 322 KUHP dan Pasal 323 KUHP, yaitu bahwa guna melakukan
penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam
ayat terakhir dari kedua pasal itu.
2)
Delik
Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)
Delik aduan relatif adalah
kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa kejahatan aduan, melainkan dalam
hal-hal atau keadaan tertentu saja kejahatan itu menjadi kejahatan aduan.[14] Hanya
karena adanya unsur-unsur tertentu saja, syarat pengaduan untuk melakukan
penuntutan diperlukan. Sedangkan dalam keadaan biasa artinya tanpa adanya unsur
tertentu, syarat pengaduan tidak diperlukan untuk melakukan penuntutan.
Contohnya pencurian dalam segala bentuknya (Pasal 362-365 KUHP) pada dasarnya bukan
kejahatan aduan, akan tetapi bila ada unsur dalam kalangan kelurga atau
kejahatan itu dilakukan dalam kalangan keluarga, maka menjadi kejahatan aduan
(relatif). Contoh lainnya antara lain Pasal-pasal: 370 (jo 368,369), 376 (jo
372-375), 394 (jp 378-393 KUHP).[15]
a) Pasal
367 KUHP tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam
lingkungan keluarga”,
b) Pasal
369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 KUHP tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A
mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang
kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan
dibuka. Oleh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
c) Pasal
372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 KUHP tentang penggelapan yang dilakukan dalam
kalangan kekeluargaan,
d) Pasal
378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 KUHP tentang penipuan yang dilakukan dalam
kalangan kekeluargaan.
Hubungan kekeluargaan
harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas
pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang
disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan,
yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan
demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).
c.
Hak
Mengadu
Bab VII Buku I KUHP,
tidak disebutkan mengenai siapa yang mempunyai hak orijiner untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu
delik aduan. Pada dasarnya orang yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang
yang terkena kejahatan (korban).[16] Pasal
72 KUHP hanya menentukan mengenai siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu
atau yang berhak menggantikan pengadu yang orijiner.
Pasal 72 KUHP, menentukan:
Pasal 72 KUHP ayat (1)
Selama orang yang terkena kejahatan yang
hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur
atau orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka
yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara pedata.
Pasal 72 KUHP ayat (2)
Jika itu tidak ada, atau harus diadukan
sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas,
atau majelis yang menjadi pengampu pengawas: juga mungkin atas pengaduan
istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak
ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai
derajat ketiga.
Jika tidak ada wakil
sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri
adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan
pengaduan itu adalah:
1) Wali
Pengawas;
2) Pengampu
Pengawas;
3) Majelis
yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas;
4) Istrinya;
5) Salah
satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, maka
pengaduan dilakukan oleh;
6) Salah
satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga (Pasal
72 ayat 2 KUHP).[17]
Apabila seorang yang
terkena delik aduan belum berusia enam belas tahun dan belum dewasa, atau
seseorang yang dibawah pengampunan bukan karena sifat boros, yang berhak maju
sebagai pengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. Hal ini
berarti, bila mengadukan bukan wakil yang sah tersebut, maka pengaduan itu
tidak sah dan karenanya delik itu tidak dapat dituntut karena syarat keabsahan
pengaduan tidak dipenuhi.
Bagaimana jika korban
yang berhak mengadu kemudian meninggal dunia, apakah dengan demikian hak
pengaduan dalam hal perkara itu menjadi hapus?
Pasal 73 KUHP, menentukan:
Jika yang terkena kejahatan meninggal di
dalam tenggang yang ditentukan dalam pasal berikut, maka tanpa memperpanjang
tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau
suaminya (istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau ternyata bahwa yang
meninggal tidak menghendaki penuntutan.
Dari norma Pasal 73
KUHP, orang yang terlanggar kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun
kemudian meninggal, maka hak mengajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama
tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74
KUHP. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan
secara limitatif dalam Pasal 73 KUHP. Hak pengaduan oleh ahli waris dari korban
kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 KUHP ini tidak berlaku dalam hal
kejahatan aduan perzinahan (Pasal 284 ayat 3 KUHP).[18]
Dapat disimpulkan
orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengaduan dalam kejahatan-kajahatan
yang diisyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan perkaranya,
yakni: orang-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat juga disebut
sebagai “orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan”. Walaupun
delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri dalam KUHP, maka yang
berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar. Namun demikian,
generalisasi untuk hal ini dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang
yang terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu. Tentang
pengaduan ini Pasal 103 KUHAP:
1) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu;
2) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik;
3) Dalam
hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai
catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.
d.
Tenggang
waktu hak mengadu dan menarik kembali pengaduan
Pasal 74 KUHP
menentukan bahwa tenggang waktu pengajuan pengaduan hanya enam bulan sejak
orang yang berhak mengadu mengetahui adanya delik aduan jika ia berada di
Indonesia, jika ia berada di luar negeri batas waktunya sembilan bulan.
Mengenai tenggang waktu pengaduan terdapat pengecualian pada Pasal 293 ayat (3)
KUHP yaitu 9 bulan bila ia bertempat tinggal di Indonesia dan 12 bulan bila
berada di luar Indonesia.[19] Pengecualian
ini dibuat dengan perhitungan kemungkinan kehamilan dari wanita yang
bersangkutan.
Sekalipun seseorang
yang berhak mengadu sudah mengajukan pengaduan, namun kepadanya masih diberikan
hak untuk menarik kembali pengaduannya dalam tenggang waktu 3 bulan sejak
pengaduan diajukan, akan tetapi haknya untuk mengadu kembali telah hilang. Pengaduan
yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana masih dalam tenggang waktu 3
(tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 KUHP). Dalam hal berlakunya
tenggang waktu tiga bulan itu dihitung mulai keesokan hari dari pengajuan
pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya pengaduan ini memberikan kemungkinan
apabila setelah pengaduan diajukan, si pengadu berubah pikiran karena misalnya
si pembuat telah meminta maaf dan menyatakan penyesalannya atau istilah dalam
praktik “telah berdamai”, maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya
selama masih dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah
pengaduan ditarik, maka tidak dapat diajukan lagi.[20]
Tentang apa sebabnya
pembentuk undang-undang mengenai mensyaratkan mengenai perlunya suatu pengaduan
dalam tindak pidana diatas, undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasannya.
Menurut guru besar Von Liszt, Berner, dan Von Swinderen hal tersebut disebabkan oleh dipandang secara
objektif dalam beberapa tindak pidana tertentu, kerugian materiil, dan kerugian
idiil dari orang yang secara langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan
daripada kerugian lain pada umumnya.[21]
Menurut memori
Penjelasan, disyaratkannya pengaduan dalam beberapa tindak pidana tertentu
berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa dalam sesuatu kasus
tertentu, dapat mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi
kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan.[22] Oleh
sebab itu maka pemberian jangka waktu untuk mengajukan pengaduan ini memberikan
kesempatan kepada mereka itu untuk mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya
sehingga baik pelaku maupun yang membantu melakukan, turut melakukan, orang
yang membujuk, maupun orang yang menderita kerugian akibat terjadinya delik itu
tidak mendapat malu karenanya.
[1] Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung:
Armico, hlm. 154-155.
[2] P.A.F Lamintang, op. cit. hlm. 207.
[3]
Samidjo, op. cit. hlm. 156.
[4] R.
Soesilo, op. cit. hlm. 87.
[5] P.A.F Lamintang, op. cit. hal. 207.
[6] Adami
Chazawi, 2007. Pelajaran Hukum Pidana 2,
Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan
Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hlm 201.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hlm. 201-202.
[9] P.A.F Lamintang, loc. cit.
[10] Adam Chazawi, op. cit. hlm. 203-204.
[11] Ibid.
[12]
P.A.F Lamintang, loc. cit.
[13] Adam Chazawi, loc. cit.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 205.
[17] Ibid,. hlm. 206.
[18] Ibid,. hlm. 207.
[19] Ibid.
[20] Ibid. hlm. 209-210.
[21]
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan
KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 27.
[22]
Ibid., hlm. 28.
Daftar Pustaka
Buku
Literatur
Adji, Oemar
Seno. 1990. Perkembangan Delik Pers di
Indonesia. Jakarta: Erlangga;
-----------.
1997. Mass Media dan Hukum, cet.2.
Jakarta: Erlangga;
Ali, Chaidir. 1991.
Badan Hukum, Cet 2. Bandung: Alumni;
Ali, Mahrus.
2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika;
Anwar. H. A. K.
Moh. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus
(KUHP Buku II) Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Arief, Barda
Nawawi. 1990. Perbandingan Hukm Pidana.
Jakarta: Rajawali Pers;
Chazawi, Adami.
2007. Pelajaran Hukum Pidana Bag. 2. Penafsiran
Hukum Pidana, Dasar Peniadaan Pidana, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan
Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada;
Halim et.al,
2009. Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran
Nama Baik. Jakarta: LBH Pers;
Harahap, M.
Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika;
Ibrahim, Johnny.
2006. Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing;
Junaedhie,
Kurniawan. 1991. Ensiklopedia Pers
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
Kansil, C.S.T.
1992. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1.
Jakarta: Balai Pustaka;
Kansil, C.S.T.
dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-pokok
Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita;
Lamintang,
P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan
KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta:
Sinar Grafika
Lamintang,
P.A.F. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Cet. 2. Bandung: Sinar Baru;
Marpaung, Leden.
1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan,
Pengertian dan Penerapannya. Jakarta: PT Grafindo Persada;
-------------,
Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara
Pidana, Buku 2. Jakarta: Sinar Grafika;
Mudzakir. 2004. Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers
Mengenai Pejabat Publik, Dictum 3;
Muis, A. 1996. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi,
Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: PT. Mario Grafika;
Prodjodikoro,
Wiryono. 2003. Tindak-tindak Pidana
Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama;
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung:
Armico;
Setiyono, H.
2001. Kejahatan Korporasi Analisis
Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang:
Bayumedia Publishing;
Soedarto. 1975. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
-----------.1990. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Soekanto,
Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press;
Soekanto,
Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian
Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
Soesilo, R.
1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Serta Komentarnya Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia;
Soemitro, Ronny
Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia;
Sugandhi, R.
2001. KUHP dan Penjelasannya.
Surabaya: Usaha Nasional;
Syahdeini, Remy.
2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Jakarta: Grafitipers;
Wahidin, Samsul.
2006. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar;
Wiryawan, Hari.
2007. Dasar-dasar Hukum Media.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang MA;
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994
tentang Surat Kuasa Khusus;
Website
Mahkamah Agung
Republik Indonesia, “Tugas dan Fungsi
Mahkamah Agung”, tersedia di website http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.
asp?bid=7, diakses pada tanggal 18 April 2012;
Fakultas Hukum
Unpad, Jum’at, 29 Oktober 2004, Lex
Specialiskah Undang-undang Pers dari KUHP?, tersedia di website http://fh-unpad.blogspot.com/2004/10/lex-specialiskah-undang-undang-pers.html,
diakses pada tanggal 10 September 2012.
Lain-Lain
Huda, Chairul. “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan
Pemakainnya dalam Praktek Pers”. Jurnal
Dewan Pers Edisi 2. 2010. Jakarta: Dewan Pers.
0 comments:
Post a Comment