1.
Pidana
dan Pemidanaan
a. Pengertian
Pemidanaan
Hakim dalam menjatuhkan
pidana kepada seseorang terdakwa yang telah melakukan tindak pidana, terlebih
dulu harus dapat memenuhi syarat pembuktian untuk dapat dilakukan pemidanaan
atas diri terdakwa, dan pidana yang dijatuhkan karena berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan yang diancam pidana telah terlebih dulu tercantum dalam
undang-undang, hal ini sesuai dengan asas legalitas. Salah satu sumber hukum
pidana di Indonesia adalah KUHP, yang terdiri dari tiga buku:
1) Buku
I, memuat Ketentuan Umum (Algemen
Leerstrukken) yang terdiri dari 9 Bab mulai Pasal 1-103 KUHP.
2) Buku
II, memuat tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 Bab mulai Pasal 104-448 KUHP.
3) Buku
III, memuat tentang Pelanggaran, yang terdiri dari 9 Bab mulai Pasal 489-569
KUHP.
Menurut Mezger seperti dikutip Soedarto, pengertian hukum pidana
adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu dengan suatu akibat yang berupa pidana. Jadi pada
dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal yaitu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu dan pidana.
1) Perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Dengan “perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang,
yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut
“perbuatan yang dapat dipidana” atau disebut “perbuatan jahat” (verbrechen atau crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang
melakukannya, maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi
dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
2) Pidana
Yang dimaksud dengan pidana ialah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini
juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tucht maatregel, masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat
Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku
jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP. [1]
Perbuatan yang
dinamakan tindak pidana di samping harus memenuhi rumusan undang-undang, juga
harus bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum ada dua jenis yaitu:
1) Sifat
melawan hukum formil, yang berarti suatu perbuatan bersifat melawan hukum
apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam
undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu harus berdasarkan
suatu ketentuan undang-undang.
2) Sifat
melawan hukum materiil, yang berarti suatu perbuatan itu melawan hukum atau
tidak, tidak hanya terdapat dalam undang-undang saja, tetapi harus dilihat
berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. [2]
Jadi suatu perbuatan
dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi
rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum. Sedangkan orang yang
melakukan tindak pidana dapat dipidana apabila terdapat kesalahan yang meliputi
mampu bertanggungjawab serta adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).[3]
Disamping perbuatan itu
memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum, maka untuk
penjatuhan pidana yang menitikberatkan pada perbuatan masih disyaratkan bahwa
tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.[4] Dalam
hal pemidanaan, ilmu pengetahuan hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat
dipidananya suatu perbuatan dan dapat dipidanya si pembuat. Hal ini sesuai
dengan syarat pemidanaan, seperti digambarkan oleh Soedarto sebagai berikut:
Syarat Pemidanaan
Pidana
Perbuatan Orang
1) Memenuhi
rumusan undang-undang;
2) Bersifat
melawan hukum (tidak ada alasan pembenar);
3) Kesalahan;
a) Mampu
bertanggungjawab
b) Dolus
atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf).
[5]
Untuk dapat dipidananya
seseorang selain perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, maka
pada diri orang itu harus ada kesalahan. Menurut Soedarto, kesalahan mempunyai tiga arti, yaitu:
1) Kesalahan
dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya (verwijtbaarheid) si
pembuat atas perbuatannya.
2) Kesalahan
dalam arti bentuk, arti kesalahan (schuldnorm)
yang berupa: 1. Kesengajaan (dolus,opzet,vorsal,
atau intention) atau 2. Kealpaan (culpa,
onachrzaamheid, natatigheid, fahrlassigheid atau negligence). Ini pengertian kesalahan yuridis.
3) Kesalahan
dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa)
seperti yang disebutkan dalam b.2 diatas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam
arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”.[6]
Apabila ketiga unsur
itu ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai
kemampuan bertanggungjawab sehingga bisa dipidana. Kemampuan bertanggungjawab
dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.
Ketentuan tentang arti bertanggungjawab dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP sebagai
berikut:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tubuhnya (gebrekkige ont wikkelink)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke
storing), tidak dipidana.
Menurut KUHP, terdapat
dua jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana
pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut;
1) Pidana
Pokok meliputi:
a. Pidana
mati;
b. Pidana
penjara;
c. Pidana
kurungan;
d. Pidana
denda.
2) Pidana
Tambahan meliputi:
a. Pencabutan
beberapa hak-hak tertentu;
b. Perampasan
barang-barang tertentu;
c. Pengumuman
putusan hakim.
Dari uraian diatas jelas
bahwa ada dua jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis
pidana sebagaimana disusun seperti tersebut diatas adalah berdasarkan berat
ringannya pidana, dan berkaitan erat dengan masalah pemidanaan dan penjatuhan
pidana yang diputuskan oleh hakim dalam setiap persidangan.
b. Tujuan
Pemidanaan
Dewasa ini masalah
pidana dan pemidanaan, baik dalam bentuk teori-teori pembenaran pidana maupun
dalam bentuk kebijakan dipandang sangat penting, sebab dari sini akan tercermin
sistem nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi
suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia. Menurut Soedarto, masalah pemidaan ini mempunyai dua arti, sebagai berikut:
1) Dalam
arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang, ialah menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana (pemidanaan in abstrakto).
2) Dalam
arti konkrit menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung
dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.[7]
Menurut H. L. Packer, menyebut “punishment” pembenarannya didasarkan
pada satu atau dua tujuan, sebagai berikut:
1) Untuk
mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau
perbuatan yang salah;
2) Untuk
mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar. [8]
Secara tradisional
teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori,
yaitu teori absolut atau teori pembalasan (retributive
vergeldings theorieen) dan teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheorieen). Berikut ini
diuraikan mengenai kedua teori tersebut di atas, menurut para ahli:
1) Teori
absolut
Menurut teori ini
pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukansuatu kejahatan atau tindak
pidana (quia peccatum est). Pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada ada
atau terjadinya kejahatan itu sendiri.[9]
Menurut Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori
absolut ialah untuk “memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya
yang menguntungkan adalah sekunder.[10] Tuntutan
keadilan ini menurut Emanuel Kant,
pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan dan pidana sebagai “Katagorische Imperatief” yaitu seseorang
harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan
suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan.[11]
Menurut Nigel Walker penganut teori retributif
dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:
a)
Penganut teori retributif yang murni (The Pure Retributivist) yang berpendapat
bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.
b)
Penganut teori retributif tidak murni
(dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam:
i.
Penganut teori retributif yang terbatas
(The Limiting Retributivist) yang
berpendapat:
Pidana tidak cocok/sepadan dengan
kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
ii.
Penganut teori retributif yang
distributif (Retribution in Distribution),
disingkat dengan sebutan “distributive”
yang berpendapat:
Pidana janganlah dikenakan pada orang
yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi
oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati tetapi
dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.[12]
2) Teori
relatif
Menurut teori relatif,
memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Tetapi
pemidanaan hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dengan
demikian dalam teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan
atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh karena itu, teori ini pun
sering disebut teori tujuan (Utilitarian
Theory).[13]
Karakteristik atau ciri-ciri pokok antara teori retributif dan teori
utilitarian dikemukakan oleh Karl O.
Christiansen, yaitu:
a) Pada
teori retributif:
i. tujuan
pidana semata-mata untuk pembalasan;
ii. didalamnya
tidak mengandung tujuan lain;
iii. kesalahan
satu-satunya syarat adanya pidana;
iv. pidana
harus seuai dengan kesalahan;
v. pidana
melihat kebelakang, yaitu sebagai pencelaan yang murni, tujuannya tidak untuk
memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar;
b) Pada
teori utilitarian:
i. tujuan
pidana adalah pencegahan (prevention);
ii. pencegahan
sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat;
iii. hanya
karena sengaja atau culpa yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana;
iv. pidana
ditetapkan dengan tujuan sebagai sarana untuk pencegahan kejahatan;
v. pidana
melihat kedepan (prospektif),
pencelaan ataupun pembalasan semata tidak dapat diterima bila tidak membantu
pencegahan untuk kesejahteraan masyarakat.[14]
Mengenai tujuan
pemidanaan untuk pencegahan kejahatan ini, menurut Muladi, bisa dibedakan dalam istilah prevensi spesial dan prevensi
general atau sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general
deterrence”, dijelaskan dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana
terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana
dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak
pidana lagi. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan Reformation atau Rehabilitation Theory. Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh
pidana pada masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin
dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada
umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.[15]
Ada pula teori yang
merupakan penggabungan dari keduanya, yang disebut Teori Gabungan (Verengings Theoreen). Teori ini tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan pidana tidak boleh melampaui
suatu pembalasan yang adil, namun pidana juga mempunyai pengaruh perbaikan
sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.[16]
[1] Soedarto, op. cit. hlm. 5.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 4.
[4] Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, hlm. 137.
[5] Soedarto, op. cit. hlm. 30.
[6] Ibid,. hlm. 6.
[7] Ibid,. hlm. 42.
[8] Muladi dan Nawawi,
1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni, hlm. 6.
[9] Ibid,. hlm. 11.
[10] Ibid.
[11] Ibid,. hlm. 11-12.
[12] Ibid,. hlm. 12-13.
[13] Ibid,. hlm. 16.
[14]
Ibid,.
hlm. 17.
[15] Ibid,. hlm. 17-18.
[16] Ibid,. hlm. 19.
Daftar Pustaka
Buku
Literatur
Adji, Oemar
Seno. 1990. Perkembangan Delik Pers di
Indonesia. Jakarta: Erlangga;
-----------.
1997. Mass Media dan Hukum, cet.2.
Jakarta: Erlangga;
Ali, Chaidir. 1991.
Badan Hukum, Cet 2. Bandung: Alumni;
Ali, Mahrus.
2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika;
Anwar. H. A. K.
Moh. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus
(KUHP Buku II) Jilid 1. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Arief, Barda
Nawawi. 1990. Perbandingan Hukm Pidana.
Jakarta: Rajawali Pers;
Chazawi, Adami.
2007. Pelajaran Hukum Pidana Bag. 2. Penafsiran
Hukum Pidana, Dasar Peniadaan Pidana, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan
Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada;
Halim et.al,
2009. Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran
Nama Baik. Jakarta: LBH Pers;
Harahap, M.
Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika;
Ibrahim, Johnny.
2006. Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing;
Junaedhie,
Kurniawan. 1991. Ensiklopedia Pers
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
Kansil, C.S.T.
1992. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1.
Jakarta: Balai Pustaka;
Kansil, C.S.T.
dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-pokok
Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita;
Lamintang,
P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan
KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta:
Sinar Grafika
Lamintang,
P.A.F. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Cet. 2. Bandung: Sinar Baru;
Marpaung, Leden.
1997. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan,
Pengertian dan Penerapannya. Jakarta: PT Grafindo Persada;
-------------,
Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara
Pidana, Buku 2. Jakarta: Sinar Grafika;
Mudzakir. 2004. Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers
Mengenai Pejabat Publik, Dictum 3;
Muis, A. 1996. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi,
Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers. Jakarta: PT. Mario Grafika;
Prodjodikoro,
Wiryono. 2003. Tindak-tindak Pidana
Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama;
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung:
Armico;
Setiyono, H.
2001. Kejahatan Korporasi Analisis
Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang:
Bayumedia Publishing;
Soedarto. 1975. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
-----------.1990. Hukum Pidana I A dan I B. Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Soekanto,
Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press;
Soekanto,
Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian
Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
Soesilo, R.
1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Serta Komentarnya Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia;
Soemitro, Ronny
Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia;
Sugandhi, R.
2001. KUHP dan Penjelasannya.
Surabaya: Usaha Nasional;
Syahdeini, Remy.
2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Jakarta: Grafitipers;
Wahidin, Samsul.
2006. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar;
Wiryawan, Hari.
2007. Dasar-dasar Hukum Media.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang MA;
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994
tentang Surat Kuasa Khusus;
Website
Mahkamah Agung
Republik Indonesia, “Tugas dan Fungsi
Mahkamah Agung”, tersedia di website http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.
asp?bid=7, diakses pada tanggal 18 April 2012;
Fakultas Hukum
Unpad, Jum’at, 29 Oktober 2004, Lex
Specialiskah Undang-undang Pers dari KUHP?, tersedia di website http://fh-unpad.blogspot.com/2004/10/lex-specialiskah-undang-undang-pers.html,
diakses pada tanggal 10 September 2012.
Lain-Lain
Huda, Chairul. “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan
Pemakainnya dalam Praktek Pers”. Jurnal
Dewan Pers Edisi 2. 2010. Jakarta: Dewan Pers.
0 comments:
Post a Comment