Halo sobat kali ini kita akan membahas mengenai lima (5) putusan pengadilan yang kontroversial sepanjang masa.
Selama ini gan mungkin belum pernah mendengar kasus-kasus ini, tetapi kasus yang akan kita kupas ini merupakan kasus-kasus yang menjadi bahan pembicaraan hukum yang seru untuk di simak.
Kasus-kasusnya bervariasi loh gan ada putusan pengadilan yang menyamakan keperawanan sama dengan barang, sampai kasus pencurian listrik.
Keperawanan Sama Dengan Barang
Pada tahun 1983, saat menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Medan, Bismar Siregar melakukan gebrakan yang berani pada zamannya. Melalui putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/PID/1983/PN/Mdn yang masyhur itu, ia melakukan analogi barang yang termasuk di dalam Pasal 378 KUHP sama dengan “Keperawanan” wanita, demi sebuah keadilan.
Kasus tersebut pada pokoknya mengenai seseorang yang menjanjikan akan menikahi seorang gadis (perawan) setelah ia melakukan hubungan dengannya. Tetapi setelah terjadi hubungan tersebut, sang pria ingkar janji sehingga sang gadis (yang sudah tidak perawan itu) merasa kecewa dan merasa ditipu oleh pria yang bernama Mertua Raja Sidabutar. Jaksa, menuntut dengan beberapa pasal, salah satunya pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pasal 378 KUHP menyebutkan barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Putusan tersebut tentu saja langsung menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak tidak sependapat dengan putusan tersebut. Akhirnya Mahkamah Agung (“MA”) membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.
Sumber:
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl77/langkah-hukum-jika-pacar-tidak-berani-pertanggungjawabkan-perbuatannya
- Makalah Penemuan Hukum Dr Shidarta, S.H., M.H.
Putusan Peninjauan Kembali “Sengkon-Karta”
Selama ini gan mungkin belum pernah mendengar kasus-kasus ini, tetapi kasus yang akan kita kupas ini merupakan kasus-kasus yang menjadi bahan pembicaraan hukum yang seru untuk di simak.
Kasus-kasusnya bervariasi loh gan ada putusan pengadilan yang menyamakan keperawanan sama dengan barang, sampai kasus pencurian listrik.
Keperawanan Sama Dengan Barang
Pada tahun 1983, saat menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Medan, Bismar Siregar melakukan gebrakan yang berani pada zamannya. Melalui putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/PID/1983/PN/Mdn yang masyhur itu, ia melakukan analogi barang yang termasuk di dalam Pasal 378 KUHP sama dengan “Keperawanan” wanita, demi sebuah keadilan.
Kasus tersebut pada pokoknya mengenai seseorang yang menjanjikan akan menikahi seorang gadis (perawan) setelah ia melakukan hubungan dengannya. Tetapi setelah terjadi hubungan tersebut, sang pria ingkar janji sehingga sang gadis (yang sudah tidak perawan itu) merasa kecewa dan merasa ditipu oleh pria yang bernama Mertua Raja Sidabutar. Jaksa, menuntut dengan beberapa pasal, salah satunya pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pasal 378 KUHP menyebutkan barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Putusan tersebut tentu saja langsung menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak tidak sependapat dengan putusan tersebut. Akhirnya Mahkamah Agung (“MA”) membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.
Sumber:
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl77/langkah-hukum-jika-pacar-tidak-berani-pertanggungjawabkan-perbuatannya
- Makalah Penemuan Hukum Dr Shidarta, S.H., M.H.
Putusan Peninjauan Kembali “Sengkon-Karta”
Kasus “Sengkon dan Karta” mungkin merupakan kasus peradilan sesat yang cukup kontroversial di Indonesia pada awal tahun 1974. Ketika itu, Sengkon dan Karta didakwa (dan kemudian dihukum) karena membunuh Sulaiman dan Siti Haya. Sengkon dan Karta menolak tuduhan itu, namun akibat tekanan penyidik kepada mereka, dua pria asal desa itu terpaksa mengakui perbuatannya.
Hingga, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tak pernah mereka lakukan.
Ketika Sengkon dan Karta sedang menjalani hukumannya di LP Cipinang Jakarta, sang pembunuh sebenarnya berada di sana, dia bernama Gunel. Kala itu, Gunel harus masuk ke LP Cipinang untuk kasus yang lain.
Gunel, sang pembunuh sebenarnya, dengan jujur dan merasa berdosa meminta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Ia mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta.
Nah, sayangnya, putusan terhadap Sengkon dan Karta sudah berkekuatan hukum tetap. Yakni, sudah melalui pengadilan negeri, banding di pengadilan tinggi, hingga ke kasasi di MA (NB: Kala itu, upaya hukum hanya sampai tingkat kasasi).
Timbulah kehebohan hukum terkait kasus ini. Ketua MA Oemar Seno Aji akhirnya menerbitkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali (PK) Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Akhirnya, Sengkon dan Karta dibebaskan melalui proses PK.
Kasus ini bukan hanya sebagai putusan PK pertama di Indonesia, tetapi sebagai awal lahirnya PK sebagai upaya hukum luar biasa di Indonesia.
Sumber:
1. http://www.antaranews.com/berita/69586/tragedi-sengkon-karta-gorontalo-kado-buruk-hut-bhayangkara
2. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21016/ketua-ma-dari-kusumah-atmadja-hingga-harifin-a-tumpa
Lindenbaum vs. Cohen
Hingga, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tak pernah mereka lakukan.
Ketika Sengkon dan Karta sedang menjalani hukumannya di LP Cipinang Jakarta, sang pembunuh sebenarnya berada di sana, dia bernama Gunel. Kala itu, Gunel harus masuk ke LP Cipinang untuk kasus yang lain.
Gunel, sang pembunuh sebenarnya, dengan jujur dan merasa berdosa meminta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Ia mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta.
Nah, sayangnya, putusan terhadap Sengkon dan Karta sudah berkekuatan hukum tetap. Yakni, sudah melalui pengadilan negeri, banding di pengadilan tinggi, hingga ke kasasi di MA (NB: Kala itu, upaya hukum hanya sampai tingkat kasasi).
Timbulah kehebohan hukum terkait kasus ini. Ketua MA Oemar Seno Aji akhirnya menerbitkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali (PK) Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Akhirnya, Sengkon dan Karta dibebaskan melalui proses PK.
Kasus ini bukan hanya sebagai putusan PK pertama di Indonesia, tetapi sebagai awal lahirnya PK sebagai upaya hukum luar biasa di Indonesia.
Sumber:
1. http://www.antaranews.com/berita/69586/tragedi-sengkon-karta-gorontalo-kado-buruk-hut-bhayangkara
2. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21016/ketua-ma-dari-kusumah-atmadja-hingga-harifin-a-tumpa
Lindenbaum vs. Cohen
Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum, tentunya tidak asing dengan putusan Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara Lindenbaum vs. Cohen. Arrest tersebut menjadi salah satu isi pasal dalam BW yang mulai berlaku di Belanda pada 1992 yang merumuskan perbuatan melawan hukum.
Perkara Lindenbaum vs. Cohen menjadi tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen. Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.
Dengan data itu, Cohen membuat penawaran baru yang membuat para pelanggan kantor Lindenbaum memilih untuk menjadi pelanggan kantor percetakan yang dimiliki Cohen. Namun kemudian, perbuatan Cohen pun diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam.
Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut. Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai pemenang.
Pada perkara tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, mencangkup pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. Padahal, sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit.
Sebelum adanya Arrest tersebut, yang dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). Artinya, orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-undang mana yang telah dilanggar.
Sumber:
- Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan
Putusan Arrest Hoge Raad ttg Energi Listrik
Perkara Lindenbaum vs. Cohen menjadi tonggak penting yang memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkara tersebut melibatkan dua kantor percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu lagi milik Cohen. Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.
Dengan data itu, Cohen membuat penawaran baru yang membuat para pelanggan kantor Lindenbaum memilih untuk menjadi pelanggan kantor percetakan yang dimiliki Cohen. Namun kemudian, perbuatan Cohen pun diketahui oleh Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam.
Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut. Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai pemenang.
Pada perkara tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, mencangkup pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan. Padahal, sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit.
Sebelum adanya Arrest tersebut, yang dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). Artinya, orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-undang mana yang telah dilanggar.
Sumber:
- Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan
Putusan Arrest Hoge Raad ttg Energi Listrik
Putusan Arrest Hoge Raad tanggal (23 Mei 1921) yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum ini menganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian).
Putusan ini menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijerat pasal 362 KUHP.
1. Penafsiran Esktensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
2. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur dengan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia.
Sumber:
http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-pidana/
Korupsi Tak Cukup Hanya Perbuatan Tercela
Putusan ini menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijerat pasal 362 KUHP.
1. Penafsiran Esktensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
2. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur dengan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia.
Sumber:
http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-pidana/
Korupsi Tak Cukup Hanya Perbuatan Tercela
Jadi begini gan. Di dlm ilmu hukum pidana dikenal perbuatan melawan hukum materil dan perbuatan melawan hukum formil. Suatu perbuatan dianggap melawan hukum materil ketika bertentangan dgn norma2 gak tertulis yg hidup di masyarakat. Sedangkan melawan hukum formil ketika ia bertentangan dgn norma hukum yg tertulis yg ada di masyarakat.
Nah, awalnya, kasus korupsi itu dikategorikan sbg perbuatan melawan hukum materil gan. Jadi awalnya gak perlu repot2 ngebuktiin bahwa seorang pejabat yg diduga korupsi telah melakukan perbuatan yg bertentangan dgn peraturan perundang-undangan. Hal ini tegas tertulis dalam Penjelasan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Tapi keadaan berubah waktu Mahkamah Konstitusi (MK) ngebatalin penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Korupsi itu pada tahun 2006 silam gan. MK menyatakan konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat adalah ukuran yang tidak pasti. Artinya sejak saat itu MK meminta agar kasus korupsi dipandang sbg sebuah perbuatan melawan hukum formil.
Walaupun udah dibatalin sama MK nih gan, tapi pada praktiknya di pengadilan pidana, hakim masih aja menggunakan konsep melawan hukum materil untuk mengadili perkara korupsi. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi dana tabungan wajib perumahan TNI AD yg merugikan negara hingga Rp100 milyar.
Sumber:
1. KPK Tidak Bisa Lagi Menggunakan Delik Materiil
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15220/kpk-tidak-bisa-lagi-menggunakan-delik-materiil-
2. Hakim Gunakan Ajaran Melawan Hukum Materiil
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16625/hakim-gunakan-ajaran-melawan-hukum-materiil
Nah, awalnya, kasus korupsi itu dikategorikan sbg perbuatan melawan hukum materil gan. Jadi awalnya gak perlu repot2 ngebuktiin bahwa seorang pejabat yg diduga korupsi telah melakukan perbuatan yg bertentangan dgn peraturan perundang-undangan. Hal ini tegas tertulis dalam Penjelasan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Tapi keadaan berubah waktu Mahkamah Konstitusi (MK) ngebatalin penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Korupsi itu pada tahun 2006 silam gan. MK menyatakan konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat adalah ukuran yang tidak pasti. Artinya sejak saat itu MK meminta agar kasus korupsi dipandang sbg sebuah perbuatan melawan hukum formil.
Walaupun udah dibatalin sama MK nih gan, tapi pada praktiknya di pengadilan pidana, hakim masih aja menggunakan konsep melawan hukum materil untuk mengadili perkara korupsi. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi dana tabungan wajib perumahan TNI AD yg merugikan negara hingga Rp100 milyar.
Sumber:
1. KPK Tidak Bisa Lagi Menggunakan Delik Materiil
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15220/kpk-tidak-bisa-lagi-menggunakan-delik-materiil-
2. Hakim Gunakan Ajaran Melawan Hukum Materiil
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16625/hakim-gunakan-ajaran-melawan-hukum-materiil
(Sumber: http://www.kaskus.co.id)
Nah itu sobat Kumpulan Putusan Pengadilan Penggebrak Dunia Hukum. Anak fakultas hukum pasti familiar banget sama kasus-kasus diatas. Semoga kedepannya semakin banyak hakim-hakim jujur sehingga keadilan di Indonesia dan dunia bisa semakin baik.
0 comments:
Post a Comment